Popular Posts

Untuk Permohonan Asuransi

Silahkan hubungi kami di 0812 8 1111 868

Contact Via Email

Sunday 29 August 2010

Pelaku Asuransi Pertanyakan Kebijakan Pajak Premi



Sejumlah kalangan pelaku industri asuransi mempertanyakan latar belakang penerapan PPn (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10% terhadap premi asuransi.

Beberapa pelaku asuransi menyayangkan, jika kebijakan itu ditempuh akan mengurangi minat masyarakat berasuransi, mengingat di Indonesia insurance minded masih rendah.

Demikian diungkapkan Dirut Adira Insurance, Willy S. Dharma; Direktur Bumiputera Muda (Bumida), Julian Noor; Wakil Dirut PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Manulife), Adi Purnomo; dan Direktur PT Asuransi Bintang, Djunaidi Mahari ketika dimintai komentar oleh Investor Daily.

Willy S. Dharma secara khusus mempertanyakan tentang latar belakang penerapan kebijakan pajak kepada premi asuransi. Ia mengakui Insurance minded di Indonesia masih sangat rendah, jika nanti ditambah kewajiban membayar pajak akan semakin memberatkan konsumen sebagai pemegang polis. Sehingga pemerintah harus terlebih dulu melihat kesiapan konsumen untuk membayar pajak terhadap premi. Ia khawatir, apabila kebijakan tersebut jadi diterapkan akan mempengaruhi pendapatan premi pelaku industri asuransi. “PPn kan di tanggung konsumen,” jelas Willy.

Senada dengan Willy, Adi Purnomo, menilai kebijakan pajak terhadap premi akan menimbulkan biaya tinggi (high cost) terhadap premi yang harus dibayarkan. Pemerintah, kata dia juga harus memikirkan dengan matang, tidak hanya dari segi penerima pajak tapi juga dari segi konsumen yang akan menanggung pajak tersebut. Karena pada akhirnya yang akan terbebani PPn terhadap premi adalah adalah konsumen pemegang polis. Apalagi, bila nanti dikenakan pada konsumen Kredit Kepemilikan Mobil dan Rumah (KPM dan KPR). Padahal kata dia, di industri asuransi kerugian, biaya premi yang dibayarkan tidak akan kembali apabila tidak ada kerugian yang menimpa kendaraan atau rumah yang diasuransikan.

Bila konsumen merasa biaya yang dikeluarkan sudah sedemikian tinggi, ia khawatir nasabah akan pindah ke perusahaan asuransi asing lain yang dapat menurunkan tarif serendah mungkin. Ia menilai kebijakan itu akan membuat persaingan antar perusahaan asuransi menjadi semakin ketat. Kebijakan tersebut, lanjut dia, juga akan menyebabkan banyak perusahaan asuransi, bila masih memungkinkan, menekan tarif premi serendah mungkin. “Itu dilakukan untuk mencegah nasabah pindah ke perusahaan lain,” papar Adi.

Secara tegas, ia menilai, kebijakan tersebut tidak memiliki latar belakang yang kuat. Pemerintah, kata dia harus menentukan latar belakang penerapan pajak terhadap premi secara lebih realistis. Ia mempertanyakan bagian apakah yang merupakan nilai tambah yang diperoleh konsumen sehingga harus kena pajak. “Nilai apa sebenarnya yang dikenakan PPn, itu masih belum jelas,” jelas Adi.

Ia menilai, kebijakan pemerintah terdahulu untuk memungut pajak dari broker atau pihak ketiga lainnya sudah tepat. Hal itu disebabkan oleh adanya tambahan pelayanan yang diberikan broker kepada calon nasabah ketika ingin membeli polis asuransi. Sedangkan, untuk penjualan polis yang dilakukan secara langsung, menurut dia, kurang tepat jika harus dikenakan pajak karena tidak ada nilai tambah yang diperoleh konsumen.

Sementara itu, Djunaidi Mahari, mengemukakan, jika industri asuransi terkena kewajiban membayar pajak maka perbankan pun seharusnya juga. Senada dengan Willy, ia menambahkan, pengenaan PPn kepada tertanggung akan secara langsung memberatkan tertanggung. Meskipun demikian, jelas dia, kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan premi pelaku industri asuransi.

Secara khusus ia menduga, besarnya pajak sangat tergantung dari jumlah premi yang dibayar tertanggung, walaupun memang secara umum besarnya PPn hanya 10% dari premi. Ketika ditanya tentang pengaruh penerapan pajak terhadap kesadaran berasuransi di kalangan masyarakat umum, ia menilai kebijakan itu tidak akan mempengaruhi insurance minded di Indonesia. Meskipun begitu, ia berharap pengenaan pajak ditujukan hanya kepada nasabah korporasi karena biasanya nilai pertanggungan nasabah korporasi cukup besar.

Sementara itu, Julian Noor, mengatakan, pengenaan pajak terhadap premi akan memberatkan pelaku industri asuransi umum. Mengapa justru ketika industri asuransi sedang tumbuh, kata dia, penerapan pajak mulai diberlakukan. Kondisi itu, jelas dia, akan semakin melemahkan kesadaran berasuransi.

Sebaiknya, jelas dia, pemerintah mempertimbangkan kembali rencana tersebut. Mereka, imbuh dia, harus juga memikirkan tentang Insurance minded yang masih rendah di Indonesia, jangan hanya berpikir untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak. Sehingga pada akhirnya, akan memperlambat pertumbuhan industri asuransi karena konsumen, kata dia, berpikir bagaimana membayar biaya (cost) seminimal mungkin.

Menurut dia, penerapan kepada premi asuransi umum disebabkan banyaknya nasabah asuransi umum adalah korporasi dibandingkan asuransi jiwa yang nasabahnya didominasi oleh individual.(c66)

0 comments: